Apa definisi politik dari perspektif santri?
Dari perspektif santri, politik adalah usaha untuk mewujudkan kemaslahatan umum yang berlandaskan nilai-nilai Islam seperti keadilan, amanah, dan tanggung jawab. Bagi santri, politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian kalangan. Lebih dari itu, politik adalah sarana untuk melayani masyarakat secara luas, tidak terbatas hanya pada prosesi keagamaan. Politik menjadi media bagi santri untuk memainkan peran kemaslahatan dengan berbagai cara, termasuk terlibat dalam kontestasi politik dan bersinergi dengan berbagai pihak demi mewujudkan maslahat yang ingin dicapai.
Bagaimana sejarah politik bagi santri di Aceh?
Sejarah politik santri di Aceh telah dimulai sejak masuknya Islam ke wilayah ini. Namun, peran santri di bawah bimbingan ulama sangat signifikan dalam konteks politik terutama saat melawan penjajah Belanda pada periode 1873–1904. Sejarawan seperti Muhammad Said dalam Aceh Sepanjang Abad mencatat bahwa ulama bertindak sebagai pemimpin spiritual dan politik, memimpin santri serta masyarakat untuk melawan penjajah dan menjaga nilai-nilai Islam di Aceh. Salah satu contoh yang penting adalah peran Teungku Chik di Tiro. A. Hasjmy mencatat bahwa pada tahun 1874, sekitar 500 pemimpin dan ulama berkumpul untuk bermusyawarah mempertahankan Aceh dari Belanda, dipimpin oleh Imuem Lueng Bata dan Teuku Lamnga. Sejak itu, berbagai fatwa jihad dikeluarkan oleh para ulama, termasuk oleh Teungku Chik di Tiro.
Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa santri di bawah asuhan ulama telah memainkan peran penting dalam pergerakan politik. Ini wajar, karena santri memiliki keunggulan yang tidak dimiliki politisi lain: pengetahuan agama yang mendalam.
Bagaimana santri mengaktualisasikan peran politik untuk masyarakat?
Santri tidak asing dengan masyarakat. Sejak dini, santri telah diamanatkan untuk terjun langsung dalam kehidupan sosial, mendidik, dan menerapkan pelajaran agama yang mereka dapatkan di dayah. Oleh karena itu, dalam hal politik, tidak sulit bagi santri untuk mengaktualisasikan perannya di tengah masyarakat. Santri bisa menjadi teladan dalam kepemimpinan, baik melalui etika, sopan santun, maupun dengan memperjuangkan kemaslahatan umum. Yang lebih penting, santri mampu mengintegrasikan ilmu agama dalam pengambilan kebijakan publik.
Sering kali kita melihat bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh pejabat tidak memperhatikan nilai-nilai agama. Contohnya, dalam pengelolaan zakat. Zakat yang seharusnya diambil dari orang-orang kaya justru tidak diambil, sementara yang tidak seharusnya diambil malah ditarik. Ini bertentangan dengan fiqih yang telah diajarkan. Padahal, zakat menyimpan potensi dana yang besar, yang jika dikelola dengan benar, bisa sangat bermanfaat bagi masyarakat.
Apa tujuan dari seorang santri menjadi politisi?
Tujuan santri dalam berpolitik cukup beragam, namun ada beberapa yang sangat penting untuk dikemukakan. Tujuan pertama adalah memastikan bahwa maslahah ammah (kemaslahatan umum) dijalankan dengan benar. Seperti yang disebutkan oleh Al-Mawardi dalam Kitab Ahkamus Sultaniyah, kemaslahatan umum adalah tujuan utama dari Syariat Islam. Namun, kemaslahatan ini sulit terwujud hanya dengan menjadi santri tanpa menempuh jalur politik. Di dayah, santri mempelajari konsep kemaslahatan hampir setiap hari, tetapi tidak mudah menerapkannya tanpa kekuasaan.
Contohnya, dalam upaya memberikan hak pendidikan bagi semua orang, ini sulit diwujudkan tanpa kekuasaan. Dengan terlibat dalam politik, seorang santri yang menjadi anggota legislatif atau eksekutif bisa memanfaatkan posisinya untuk memberikan lebih banyak beasiswa dan memajukan pendidikan yang merata.
Selain itu, kemaslahatan di bidang kesehatan, keadilan sosial, perlindungan lingkungan, tata kelola pemerintahan yang baik, dan upaya memperkuat persatuan, semuanya hampir mustahil terwujud tanpa jalur politik. Dengan terjun dalam politik, santri dapat memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. (**).