Banda Aceh | Atjeh Terkini.id- Beberapa kepala daerah di Aceh secara terbuka mengaku kewalahan menghadapi banjir dan longsor. Ada bupati yang mengatakan, “Kami tidak mampu menangani sendiri, kerusakan terlalu besar.”
Ada wali kota yang memohon bantuan pusat karena logistik menipis dan akses terputus. Ada bupati yang menangis karena warga terisolasi, listrik padam, BBM langka, dan tenaga evakuasi terbatas.
Semua testimoni itu menggambarkan satu hal: bahwa ketika bencana besar datang, daerah tidak benar-benar siap, dan negara tampak lambat merespons. Dan setiap kali bencana berulang, rakyatlah yang paling menderita. Kelaparan, kedinginan, kehilangan rumah, sulit komunikasi, harga kebutuhan naik, terisolir akibat jalan atau jembatan putus dan bahan bakar pun menjadi rebutan.
Lalu kita harus jujur bertanya:
Mengapa Aceh selalu kewalahan? Mengapa penanganan selalu terasa terlambat dan terputus-putus?
Musibah memang ketetapan Allah.Tetapi kewalahan dalam mengurus rakyat adalah masalah manusia dan sistem yang mengaturnya.
Ini bukan sekadar soal curah hujan atau cuaca ekstrem. Ini tentang kebijakan pembangunan yang sering tak selaras dengan amanah menjaga lingkungan. Ini tentang koordinasi yang lambat, infrastruktur yang rapuh, peringatan dini yang minim, dan minimnya keberpihakan total negara kepada rakyat dalam kondisi darurat.
Dalam bingkai itu, musibah ini seharusnya menjadi momentum untuk bertanya lebih dalam:
Apakah sistem yang ada hari ini benar-benar memprioritaskan keselamatan rakyat?
Mengapa negeri yang kaya sumber daya selalu tampak miskin kemampuan mengatasi bencana?
Sampai kapan rakyat Aceh harus menanggung akibat buruk dari tata kelola yang tidak berpihak pada penjagaan alam dan kehidupan?
Bukan sekadar mengkritik, tetapi mengajak berfikir:
Bahwa solusi paripurna bukan sekadar menunggu status darurat atau bantuan yang datang terlambat. Solusinya adalah menghadirkan tata kelola yang dibangun atas dasar syariat, yang menempatkan perlindungan nyawa rakyat sebagai kewajiban negara, bukan pilihan politik.
Islam Kaffah: Cara Pandang yang Lebih Dalam
Dalam pandangan Islam kaffah, negara bukan sekadar lembaga administratif. Negara adalah râ’in , pengurus seluruh urusan rakyat. Negara tidak boleh bingung, tidak boleh menunggu tekanan publik, apalagi membiarkan rakyat bertahan sendiri.
Rasulullah Saw bersabda:
“Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus.” (HR. Bukhari)
Penetapan darurat bencana seharusnya bukan hasil desakan rakyat yang sudah lelah menahan derita, tetapi inisiatif negara untuk menghilangkan kesulitan rakyat secepat mungkin.
Islam mengajarkan bahwa penguasa tidak boleh membiarkan satu malam pun rakyatnya menderita tanpa upaya sungguh-sungguh.
Lalu seperti apa gambaran Khilafah menangani bencana alam, sehingga rakyat terlindungi secara nyata, bukan janji?
1. Respon Cepat Tanpa Menunggu Desakan
Begitu bencana terjadi, Khalifah langsung memerintahkan pasukan penanggulangan bencana bergerak. Dana darurat Baitul Mal dibuka saat itu juga. Pengiriman logistik dilakukan tanpa birokrasi berlapis. Pemimpin tidak menunggu laporan viral atau tekanan publik, karena melindungi nyawa adalah kewajiban syar’i.
2. Dana Bencana Selalu Tersedia
Khilafah memiliki mekanisme keuangan yang jelas dan syar’i:
Dana kepemilikan umum (minyak, gas, tambang). Kharaj, jizyah, dan harta Baitul Mal. Pos darurat yang khusus disediakan untuk penanggulangan bencana.
Tidak ada istilah “anggaran belum turun” atau “menunggu validasi”.
3. Sistem Pencegahan Dibangun Sebelum Bencana
Khilafah mengambil langkah strategis:
Melarang eksploitasi hutan dan pertambangan yang merusak struktur tanah. Membuat kanal, tanggul, bendungan, dan jalur evakuasi permanen. Menyiapkan sistem peringatan dini yang ketat dan berbasis riset ilmiah.Karena syariat memerintahkan menjaga kehidupan manusia secara maksimal.
4. Evakuasi Ditangani Negara, Bukan Relawan Semata
Negara mendirikan posko pengungsian yang aman dan higienis. Menyediakan makanan, air, pakaian, dan layanan kesehatan gratis.
Memindahkan pendidikan anak sementara ke zona aman. Mengorganisir jund (militer) untuk membantu warga, bukan untuk kepentingan politik. Rakyat merasa dijaga, bukan ditinggal.
5. Pemulihan Total Setelah Bencana
Khilafah memastikan:
Rumah-rumah dibangun kembali oleh negara. Mata pencaharian dipulihkan. Infrastruktur diperbaiki tanpa pungutan rakyat. Bantuan hidup diberikan sampai keluarga benar-benar pulih. Khilafah tidak pergi setelah kamera media pergi.
Apakah Sistem Hari Ini Mampu?
Melihat bupati kewalahan, bahkan ada yang menangis, rakyat berebut BBM, listrik padam berhari-hari, dan logistik sulit masuk, seharusnya kita sadar bahwa masalah ini bukan hanya banjir.
Ini tentang sistem. Ini tentang cara negara memandang rakyat. Ini tentang prioritas politik dan arah pembangunan.
Kita perlu bertanya:
Sampai kapan Aceh seperti ini?
Sampai kapan rakyat harus menanggung akibat buruk dari sistem yang tidak mampu menjaga mereka?
Apakah kita tidak rindu pada tata kelola yang benar-benar melayani rakyat sebagai amanah dari Allah?
Musibah ini harus membuka kesadaran bahwa:
Islam tidak hanya memerintahkan kita berdoa, tetapi juga menyediakan sistem negara yang mampu menjaga manusia secara kaffah.
Dan hanya ketika syariat ditegakkan sepenuhnya, manusia akan merasakan perlindungan yang adil, cepat, dan manusiawi.
Seruan untuk Bangkit Berfikir
Musibah ini harus membuka mata kita bahwa penderitaan berulang tidak boleh menjadi “takdir sosial” umat Islam. Kita berhak hidup dalam sistem yang peduli, cepat, adil, dan bertanggung jawab. Kita berhak merasakan negara yang sungguh-sungguh menjadi pelindung.
Saatnya masyarakat Aceh dan seluruh umat Muslim berpikir: Apakah sistem hari ini memberi jaminan itu? Ataukah kita membutuhkan perubahan yang lebih mendasar , menuju sistem yang berjalan dengan petunjuk Allah secara kaffah?
Semoga musibah ini menjadi pintu hidayah kolektif, bukan sekadar berita yang berlalu. (**)
Oleh : Santi Ummu Fatih
Aktivis Muslimah Aceh














