Jakarta | Atjeh Terkini.id – Pagi itu, 21 Juni 1970, Jakarta muram dalam diam. Di Wisma Yaso sebuah rumah tua yang tak lagi megah seperti jabatan penghuninya dulu- Bung Karno menghembuskan napas terakhir.
Tak ada seremoni negara, tak ada pidato perpisahan. Sang proklamator yang dulu mengguncang dunia dengan pekik “merdeka” itu kini berpulang dalam status tahanan politik.
Tubuhnya ringkih oleh gagal ginjal dan penyakit yang dibiarkan menggerogoti. Permintaan anak-anaknya untuk mengobatinya ke luar negeri ditolak oleh rezim baru.
la dibiarkan padam, perlahan, seperti api revolusi yang sengaja ditiup pelan-pelan agar tak menyala lagi.(Historia.id, 2020).
Siapa sangka lelaki flamboyan yang dulu dielu-elukan massa, disegani pemimpin dunia, akhirnya mati dalam kesepian? Setelah G30S 1965, langit politik Indonesia berubah gelap.
Bung Karno, yang mencoba berdiri ditengah pusaran ideologi Timur dan Barat, mendadak dianggap musuh oleh bangsanya sendiri. la tidak mengutuk PKI secara terang-terangan, dan itu menjadi alasan sempurna untuk menyingkirkannya.
Kekuasaan perlahan direbut. Di balik layar, skrip kejatuhan ditulis, bukan hanya oleh kekuatan lokal, tapi juga oleh intervensi asing yang memainkan perang dingin di panggung Nusantara.[(Bevins, 2020)].
Di luar tembok Wisma Yaso, propaganda menggila. CIA, MI6, dan militer Indonesia mnenari dalam gelombang informasi, menulis ulang siapa pahlawan dan siapa musuh.
Bung Karno dianggap terlalu kuat, terlalu berbahaya untuk dibiarkanhidup dalam ingatan rakyat. Maka ia tak sekadar dijatuhkan–ia harus dilupakan.
Memoar Oei Tjoe Tat, salah satu orang dalam pemerintahan, mencatat betapa Bung Karno dibiarkan membusuk secara politik dan fisik. la dijaga, bukan untuk dilindungi, tapi untuk diputus dari dunia luar [(Oei Tjoe Tat, 1995)].
Namun sejarah tidak pernah benar-benar bisa dibungkam. Dari buku, dari testimoni, dari luka kolektif, suara Bung Karno kembali bergema. Gelar Pahlawan Nasional yang baru diberikan puluhan tahun kemudian terasa seperti pengakuan yang datang terlambat.
Tapi Bung Karno tak pernah benar-benar pergi. la hadir di tiap pidato kemerdekaan, di tiap poster “Soekarnoisme”, dan di dada mereka yang belum lupa bagaimana cinta bisa dikhianati bangsa sendiri.
DAFTAR PUSTAKA:
1. Bevins, Vincent. The Jakarta
Method. PublicAffairs, 2020.
2. Oei, Tjoe Tat. Memoar Oei Tjoe Tat.
Hasta Mitra, 1995.
3. Historia. “Detik-detik Terakhir.(**)
Dikutip dari postingan tiktok Arif Rahmawan.













