Meulaboh | Atjeh Terkini.id – Pernyataan sekelompok mahasiswa yang menamakan diri sebagai Solidaritas Mahasiswa Nasional Indonesia (SMNI) Aceh Barat yang menuding aktivitas tambang emas rakyat (tambang mini) sebagai penyebab kerusakan lingkungan dan penderitaan masyarakat, memantik reaksi keras dari para pelaku tambang dan warga yang selama ini bergantung hidup pada aktivitas tersebut.
Di tengah gempuran opini dan tekanan moral yang mereka anggap sepihak, para penambang dan warga menegaskan bahwa narasi yang dibangun mahasiswa tidak mencerminkan kondisi riil di lapangan. Mereka meminta semua pihak, khususnya mahasiswa, untuk tidak “asal omon-omon” tanpa kajian menyeluruh dan empati terhadap situasi ekonomi masyarakat pasca pandemi dan krisis.
“Kami Bukan Perusak, Kami Sedang Bertahan Hidup”
Seorang penambang emas di kawasan tambang rakyat Aceh Barat, yang meminta namanya disamarkan demi keamanan, mengungkapkan kekecewaannya terhadap tudingan bahwa tambang mini membuat masyarakat sengsara.
“Kami bukan perusahaan besar. Kami bukan tambang korporasi yang pakai kapal penggarut emas atau merusak hutan. Kami rakyat kecil, menambang dengan cara tradisional. Jangan tuding kami menyengsarakan masyarakat, kami justru bagian dari masyarakat yang selama ini disengsarakan oleh ketimpangan,” ujarnya dengan nada geram.
Ia menambahkan bahwa tambang mini telah menciptakan lapangan kerja informal bagi ratusan warga dari desa sekitar, termasuk para buruh kasar, ibu rumah tangga, janda, dan pemuda pengangguran.
Mak Laila: “Kalau Bukan Karena Tambang Ini, Kami Bisa Kelaparan”
Salah satu suara paling menyentuh datang dari Mak Laila, seorang janda berusia 43 tahun yang bekerja sebagai penulang emas. Dengan empat anak yang harus dinafkahi dan disekolahkan, Mak Laila menyebut tambang mini sebagai “penyelamat hidup”.

“Saya janda empat anak. Sebelum ada tambang ini, saya kerja serabutan. Kadang tak cukup makan. Sekarang alhamdulillah, bisa hidup lebih baik, anak bisa sekolah, saya tidak minta-minta lagi. Ini bukan kerja haram, ini kerja halal,” ujarnya dengan suara tegas.
Mak Laila menyebut pernyataan mahasiswa yang menyebut tambang menyengsarakan rakyat sebagai tidak tahu persoalan dan menyakitkan bagi mereka yang selama ini berjuang diam-diam di tengah stigma.
“Kalau kalian (mahasiswa) punya niat baik, datang ke sini, lihat langsung. Jangan cuma duduk di kampus lalu bilang kami perusak. Kami pun peduli lingkungan, tapi kami lebih peduli dapur kami tetap ngebul,” ucapnya sambil menahan air mata.
Dek Gam: Jangan Omon-Omon, Coba Lihat Data dan Fakta di Lapangan
Pernyataan senada datang dari Dek Gam, salah satu tokoh muda Aceh Barat yang juga dikenal sebagai mantan aktivis mahasiswa. Ia menyayangkan sikap sejumlah mahasiswa yang melontarkan kritik tanpa pendekatan ilmiah dan tanpa meninjau langsung kondisi masyarakat di lokasi tambang.
“Jangan omon-omon! Coba lihat dulu bagaimana kondisi masyarakat sebelum tambang ini ada, dan bagaimana sekarang. Ada ratusan kepala keluarga yang terbantu. Banyak pemuda pengangguran yang sekarang punya penghasilan meski kecil. Ini fakta sosial yang tidak bisa diabaikan,” ujar Dek Gam saat ditemui wartawan Atjeh Terkini.id, Rabu (4/6/25).
Ia menambahkan bahwa mahasiswa seharusnya hadir sebagai jembatan solusi, bukan sebagai penghakim.
“Silakan kritisi, tapi kaji dulu. Undang ahli, turun ke lapangan, tanya masyarakat. Kalau hanya berdasarkan teori dan emosi, itu bukan perjuangan, itu sekadar opini kosong,” tambahnya.
Tambang Mini vs Perusahaan Raksasa
Dek Gam juga menyinggung soal ketimpangan dalam akses kerja antara perusahaan besar dan tambang rakyat. Ia mencontohkan PT Batu Bara di wilayah Aceh Barat yang menurutnya menyerap sangat sedikit tenaga kerja lokal.
“Coba kita buka datanya, berapa persen warga kita yang bisa kerja di PT Batu Bara? Sedikit sekali. Sementara tambang rakyat ini, meski kecil dan tradisional, menyerap banyak tenaga kerja. Kalau mau bicara keadilan ekonomi, harus lihat dari sini juga,” katanya.
Kami Siap Dialog, Tapi Jangan Matikan Nafkah Kami
Masyarakat sekitar tambang mini menegaskan bahwa mereka tidak anti-kritik, tetapi meminta pendekatan yang adil dan solutif. Mereka terbuka untuk dialog dan perbaikan tata kelola tambang, tetapi menolak pelabelan yang hanya menyudutkan tanpa menawarkan jalan keluar.
“Kalau ada yang harus dibenahi, ayo kita benahi bersama. Kami juga ingin lingkungan tetap lestari. Tapi jangan matikan sumber penghidupan kami hanya karena kalian tidak paham apa yang sedang kami hadapi,” ujar salah seorang tokoh desa yang turut hadir dalam diskusi bersama warga.
Siapa yang Sebenarnya Mendengar Suara Rakyat?
Polemik tambang mini di Aceh Barat mencerminkan ketegangan klasik antara kepedulian lingkungan, idealisme mahasiswa, dan realitas ekonomi masyarakat kecil. Kritik terhadap dampak lingkungan memang penting, tetapi jika tidak disertai dengan pemahaman kontekstual, ia bisa melukai bahkan mematikan upaya rakyat kecil bertahan hidup.
Warga dan penambang rakyat kini menunggu: apakah mahasiswa dan para pengambil kebijakan mau turun ke lapangan, mendengar langsung suara mereka, dan merumuskan kebijakan yang bukan hanya “ramah lingkungan”, tetapi juga ramah kemanusiaan.(TTM)