Lhoksukon l Atjeh Terkini.id- Pasca penolakan Mahkamah Konstitusi terhadap perpanjangan masa jabatan geusyik di Aceh, polemik terkait Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang mencalonkan diri sebagai kepala desa (keusyik) mencuat di sejumlah gampong. Tahapan Pemilihan Langsung Keuchik (Pilchiksung) kembali bergulir setelah sempat tertunda.
Sebelumnya, Pemerintah Aceh menunda Pilchiksung melalui surat Sekda Nomor 400.10/4007 tertanggal 22 April 2025.
Penundaan ini berlaku bagi keuchik yang masa jabatannya berakhir antara Februari 2024 hingga Desember 2025, sementara yang berakhir di 2022, 2023, dan Januari 2024 tetap dilanjutkan. Pasca putusan MK, izin pelaksanaan Pilchiksung kembali diberikan untuk seluruh gampong.
Sekda Aceh Utara, Dr. A. Murtala, melalui surat Nomor 141/1173 tertanggal 19 Agustus 2025, menginstruksikan camat dan penjabat geuchik untuk segera melaksanakan tahapan Pilchiksung.
Muadi Buloh, seorang pemerhati Desa, menilai bahwa persoalan PPPK yang menjadi calon keusyik berpotensi mengganggu ketenteraman masyarakat. Beberapa desa di Aceh Utara menerima berkas calon geusyik yang berstatus ASN/PPPK, baik paruh waktu maupun penuh waktu, yang dianggap bertentangan dengan regulasi.
Menurut Muadi, penerimaan berkas calon dari ASN/PPPK dapat menimbulkan ketidakadilan. “Ini bukan sekadar masalah hukum, tapi juga menyangkut keadilan sosial dan masa depan demokrasi desa. Kalau aturan tidak jelas, bisa terjadi sengketa,” ujarnya.
Muadi menambahkan, jika ASN/PPPK dibolehkan maju tanpa syarat mengundurkan diri, warga biasa akan merasa tidak memiliki akses dan fasilitas yang sama. Secara hukum, ASN/PPPK memang tidak boleh mendaftar sebagai kepala desa atau jabatan politik lainnya.
“Dalam UU Desa No. 3 Tahun 2024, calon kepala desa tidak boleh sedang menjabat sebagai pejabat pemerintahan. Hal ini sejalan dengan UU ASN No. 20 Tahun 2023 yang menegaskan bahwa PPPK termasuk dalam kategori ASN, dan ASN dilarang merangkap jabatan politik,” tegasnya.
Ia mengutip Permendagri 112/2014 dan Qanun Aceh No. 4 Tahun 2009, yang mengatur bahwa ASN yang ingin mencalonkan diri sebagai kepala desa wajib mengundurkan diri secara tertulis sebelum mendaftar.
“Kalau ada PPPK yang berniat maju, langkah pertama yang wajib dilakukan adalah mengundurkan diri secara resmi dari status ASN/PPPK. Sebab ASN, termasuk PPPK paruh waktu, digaji dari APBN atau APBK,” jelas Muadi.
Menurutnya, keikutsertaan ASN aktif dalam kontestasi politik dapat mencampuradukkan jabatan birokrasi dengan jabatan politik, berpotensi menimbulkan benturan kepentingan dan mencederai netralitas ASN.
Muadi menegaskan bahwa Pilchiksung adalah pesta demokrasi yang paling dekat dengan rakyat, sehingga celah aturan dapat memicu konflik horizontal. Ia berharap Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Utara segera memberikan instruksi serta pedoman teknis terkait status ASN/PPPK yang ingin maju sebagai calon kepala desa.
“Pedoman ini harus disampaikan terbuka kepada panitia Pilchiksung di tingkat gampong, agar mereka punya pegangan kuat dalam memverifikasi bakal calon. Dengan begitu, tidak ada ruang multitafsir yang bisa memicu masalah di kemudian hari,” pungkasnya. (**)