Banda Aceh l Atjeh Terkini.Id- Dua puluh tahun telah berlalu sejak MoU Helsinki ditandatangani, namun kedamaian sejati masih menjadi impian bagi sebagian besar rakyat Aceh. Luka-luka lama akibat konflik berkepanjangan masih terasa perih, terutama bagi para korban yang hingga kini belum mendapatkan keadilan yang dijanjikan.
Generasi Aceh tumbuh dalam bayang-bayang kekerasan. Ribuan warga sipil menjadi korban, kehilangan nyawa, harta benda, dan masa depan. Anak-anak tumbuh dalam ketakutan, tanpa pendidikan yang layak, dan trauma mendalam. Setelah dua dekade, pertanyaan mendasar masih menggantung: Keadilan untuk para korban, di mana?
Ironisnya, negara seolah menutup mata dan telinga. Janji-janji dalam MoU Helsinki belum sepenuhnya direalisasikan. KKR Aceh yang diharapkan menjadi wadah penyelesaian masalah justru memiliki wewenang terbatas. Pengadilan HAM yang seharusnya mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat tak kunjung dibentuk. Akibatnya, budaya impunitas terus tumbuh subur, dan para pelaku kejahatan masa lalu bebas berkeliaran, bahkan menduduki posisi strategis di pemerintahan.
Para korban konflik dan keluarga mereka hidup dalam kemiskinan dan ketidakpastian. Bantuan yang dijanjikan tak kunjung datang. Pendidikan gratis, rehabilitasi psikologis, dan layanan sosial hanya menjadi janji manis di atas kertas. Mereka tidak meminta belas kasihan, melainkan keadilan yang ditegakkan, kebenaran yang diungkapkan, dan sejarah yang ditulis dengan jujur.
Anak-anak mantan kombatan dan korban konflik juga menjadi generasi yang terlupakan. Mereka tumbuh dalam stigma negatif, kesulitan mengakses pendidikan dan pekerjaan yang layak. Di tengah maraknya korupsi, mereka semakin terpinggirkan.
Mengingat masa lalu bukan berarti membuka luka lama, melainkan mencegah luka serupa terulang kembali. Negara memiliki kewajiban untuk mengakui sejarah kelam Aceh, memasukkannya dalam kurikulum pendidikan, membangun monumen dan museum untuk mengenang para korban.
Rekonsiliasi sejati bukan sekadar damai di atas kertas, melainkan hadirnya keadilan, kebenaran, dan pemulihan bagi para korban. Jika negara terus gagal memenuhi hak-hak mereka, maka luka Aceh akan terus menganga, dan perdamaian yang ada hanyalah ilusi semata. Dua puluh tahun damai, namun keadilan masih menjadi barang langka bagi mereka yang telah kehilangan segalanya. (**).