Banda Aceh | Atjeh Terkini.id – Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah Pemerintah Aceh melakukan review dan penataan ulang Hak Guna Usaha (HGU) sektor perkebunan kelapa sawit di seluruh wilayah provinsi.
Direktur Forbina Muhammad Nur, S.H. menilai kebijakan tersebut merupakan momentum penting untuk menegakkan keadilan agraria dan memastikan manfaat ekonomi sawit benar-benar dirasakan masyarakat Aceh.
“Selama ini konflik lahan terjadi hampir di semua wilayah HGU. Banyak perusahaan berkantor di luar Aceh, mengeruk keuntungan besar dari tanah Aceh, tapi masyarakat di sekitar lahan justru hidup miskin dan tanpa kebun plasma,” ujar Muhammad Nur di Banda Aceh, Sabtu (1/11/2025).
Ia menyoroti lemahnya transparansi data sektor sawit di Aceh. Menurutnya, hingga kini belum ada publikasi resmi mengenai total pendapatan dan pajak daerah yang bersumber dari sektor HGU perkebunan sawit, maupun data masyarakat yang sejahtera berkat industri tersebut.
“Tidak ada juga data jumlah CSR yang benar-benar dirasakan masyarakat sekitar HGU. Kalau kita turun ke lapangan, banyak rumah rakyat di pinggir kebun sawit justru tidak layak huni,” tambahnya.
Aceh memiliki sekitar 1,1 juta hektar lahan perkebunan, dengan 237.769 hektar di antaranya merupakan perkebunan kelapa sawit. Dari jumlah itu, sekitar 385.435 hektar dikelola oleh perusahaan besar. Namun, bukannya membawa kesejahteraan, sektor ini justru kerap memunculkan konflik agraria dan ketimpangan akses lahan.
Di Aceh Selatan, sekitar 165 hektar lahan masyarakat transmigrasi di Kecamatan Trumon Timur diduga dikuasai oleh PT Agro Sinergi Nusantara. Sementara PT Asdal Prima Lestari bahkan mendapat rapor merah dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Februari 2025 karena dugaan pelanggaran lingkungan dan sosial.
Kasus serupa juga terjadi di Aceh Utara dan Aceh Timur.
Masyarakat Cot Girek dan Pirak Timu berkonflik dengan PT Perkebunan Nusantara IV Regional 6, sedangkan di Aceh Timur, konflik melibatkan sederet perusahaan seperti PT Bumi Flora, PT Parama Agro Sejahtra, PT Atakana Kompeni, PT Pattria Kamo, PT Tualang Raya, PT Beurata Maju, dan PT Bayu Peuga Sawit.
“Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa pengelolaan HGU sawit di Aceh masih jauh dari prinsip keberlanjutan dan keadilan sosial,” tegas Muhammad Nur.
Forbina juga menyoroti dua perusahaan besar yang sering dilaporkan masyarakat, yakni PT Fajar Baizury & Brothers di Kabupaten Nagan Raya dan PT Dua Perkasa Lestari.
“PT Fajar Baizury menguasai HGU seluas 9.311 hektar sejak 1991 dan diperbarui pada 2007. Hingga kini, masyarakat di sekitar wilayah tersebut masih menuntut penyelesaian dugaan penyerobotan lahan garapan rakyat,” jelasnya.
Sementara PT Dua Perkasa Lestari disebut-sebut belum sepenuhnya merealisasikan kewajiban pembangunan kebun plasma bagi masyarakat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 18 Tahun 2021.
Menurut Forbina, Pemerintah Aceh perlu melakukan audit komprehensif terhadap seluruh HGU aktif di Aceh, melibatkan BPN, Dinas Pertanian dan Perkebunan, akademisi, serta masyarakat sipil.
“Harus jelas: berapa luas HGU yang masih aktif, siapa pemegang izinnya, di mana kantor mereka, berapa pajak yang dibayarkan ke Aceh, dan berapa banyak plasma yang sudah dibangun untuk masyarakat,” tegasnya lagi.
Muhammad Nur menambahkan, Aceh membutuhkan arah investasi yang berpihak pada rakyat, bukan semata pada korporasi.
“Kita ingin investasi yang berkeadilan. Kalau lahan rakyat diambil, maka rakyat harus sejahtera. Jangan sampai perusahaan kaya, tapi masyarakat di sekitarnya tetap miskin,” pungkasnya.(**)















